MOKHAMMAD RAMADANI ILHAM AKBAR 

Mahasiswa S1 Manajemen 

Sebagai seorang mahasiswa dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, saya memulai perjalanan yang unik selama magang saya di Sariraya Co., Ltd. di Jepang. Saya tidak menyangka bahwa pengalaman saya akan mengambil arah yang mengejutkan, membawa saya untuk bertugas sebagai pembicara khutbah sholat Jumat, atau khatib, untuk komunitas Muslim lokal. Kesempatan ini tidak hanya menantang kemampuan berbahasa saya, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang praktik Islam dalam lingkungan multikultural. 

Jepang, terkenal dengan warisan budayanya yang kaya dan kemajuan teknologinya, adalah rumah bagi komunitas Muslim yang kecil namun bersemangat. Selama magang saya, saya menemukan diri saya dalam posisi tanggung jawab sebagai ustadz, menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa Inggris. Tantangan ini ganda: menyampaikan pesan keagamaan secara efektif dan melakukannya dalam bahasa yang bukan bahasa ibu bagi sebagian besar orang. 

Salah satu hambatan awal adalah menyesuaikan khutbah agar sesuai dengan jamaah dengan latar belakang bahasa yang beragam. Meskipun bahasa Arab adalah bahasa universal Islam, banyak jamaah yang lebih nyaman dengan bahasa Jepang atau Inggris. Menemukan keseimbangan, saya menyertakan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad (saw) dalam bahasa Arab, diikuti oleh penjelasan dalam bahasa Inggris untuk memastikan pemahaman yang komprehensif. 

Tantangan lainnya adalah menyelaraskan nuansa budaya komunitas Muslim Jepang. Memahami adat istiadat dan tradisi lokal memainkan peran penting dalam membangun hubungan dengan jamaah. Menyertakan unsur-unsur budaya Jepang dalam khutbah membantu menjembatani kesenjangan dan membina rasa persatuan di antara para jamaah. 

Meskipun menghadapi tantangan berbahasa dan budaya, saya menemukan komunitas yang mendukung dan ingin tahu untuk memahami lebih banyak tentang Islam. Sholat Jumat menjadi platform bukan hanya untuk bimbingan spiritual tetapi juga untuk membangun pemahaman dan rasa hormat di antara orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. 

Lebih lanjut, pengalaman menjadi khatib di Jepang memungkinkan saya menyaksikan langsung kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan konteks budaya yang berbeda. Universalitas Islam terlihat saat individu dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul untuk beribadah, melampaui batasan bahasa dan budaya. Ini memperkuat ide bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia, mampu memupuk persatuan dan saling menghormati. 

Sebagai kesimpulan, peran tak terduga saya sebagai khatib di Jepang adalah pengalaman yang bertransformasi, mengajarkan saya pelajaran berharga dalam komunikasi, sensitivitas budaya, dan daya tarik universal Islam. Ini menekankan pentingnya menyesuaikan praktik keagamaan dengan konteks lokal sambil mempertahankan inti pesan. Saat saya melanjutkan perjalanan sebagai mahasiswa manajemen, pengalaman unik ini akan tetap menjadi bab yang berharga yang memperkaya pemahaman saya tentang keberagaman dan daya tarik universal Islam.