Oleh: Rachma Rizqina Mardhotillah, S.T., M.MT. Dosen Manajemen FEBTD UNUSA

DUNIA pariwisata dalam satu abad terakhir belum pernah menghadapi tantangan yang begitu rumit, kompleks dan mengancam kelangsungan serta keberlanjutan bisnis tour and travel.

Kemunculan Covid-19 pada akhir 2019 di Kota Wuhan, China, membuat seluruh stakeholder kunci industri pariwisata berpikir keras untuk mencari solusi terbaik agar sektor pariwisata tidak kolaps. Dunia pariwisata setelah adanya Covid-19 diprediksi tidak lagi sama.

Virtual tourism (VT) dapat menjadi jawaban atas kebutuhan wisata yang aman dengan nilai pengalaman yang tak kalah menarik dengan real tourism. VT didefinisikan sebagai pengalaman berkunjung ke sebuah destinasi wisata dengan menggunakan seperangkat alat yang menggunakan gambar atau video sebagai sebuah simulasi.

Ini dirasa bisa membantu para wisatawan berimajinasi seolah-olah sedang berada di lokasi tujuan dan merasakan apa yang terjadi di sebuah lokasi wisata meskipun nyatanya fisiknya tidak berada di sana.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah menghasilkan inovasi perangkat yang dapat membantu para pemasar dalam sektor pariwisata, untuk mendemonstrasikan destinasi tempat tujuan tanpa harus mengunjunginya secara langsung.

Situasi dan kondisi di sekitar tempat wisata sebenarnya, direkam secara real-time menggunakan kamera Virtual Reality (VR) untuk menyajikan gambar ataupun video yang berfungsi 360 derajat.

Konsep ini cukup unik, karena dapat membuat pengguna VT seolah-olah sedang berada di destinasi yang diimajinasikan, yang disimulasikan sama persis apabila jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya.

VT dilakukan dengan bantuan kamera VR, yang kabar baiknya saat ini sudah tersedia di berbagai online marketplace dengan harga yang terjangkau dan dapat dibeli secara bebas.

Kamera VR saat ini juga dapat dihubungkan dengan smartphone, sehingga sistem ini memungkinkan seorang calon wisatawan untuk melakukan wisata secara virtual melalui HP-nya, tanpa harus bepergian, tanpa harus khawatir terjadi risiko yang menimpa, dan dengan biaya yang relatif lebih murah.

Dengan kasus positif Covid-19 yang kepastian berakhirnya belum bisa ditentukan, stakeholders pariwisata harus bergerak cepat setidaknya dengan menawarkan dan memperkenalkan konsep virtual tourism (VT) yang lebih kreatif kepada masyarakat.

Masing-masing stakeholders dapat memainkan peran yang saling mendukung. Sebagai contoh pada jasa perhotelan/tempat tinggal, selama kurun waktu 1 dekade terakhir promosi yang dilakukan oleh pihak hotel secara keseluruhan masih tergolong monoton.

Virtual reality (VR) dapat menawarkan cara baru untuk menarik minat traveler. Salah satu cara terbaik untuk mempromosikan suatu destinasi adalah mengajak konsumen potensial untuk mengunjungi tempat tersebut secara virtual, dengan bantuan VT yang dilengkapi dengan augmented reality (AR), VR, dan video 360 derajat.

Konsep ini dapat lebih meyakinkan kepada konsumen untuk memantapkan keputusannya sebelum mengunjungi tempat yang dituju, karena selain menawarkan konsep “try before you visit”, pihak manajemen hotel ketika VT berlangsung juga dapat menyelipkan promosi ataupun iklan dengan model surprise marketing yang intinya menawarkan unexpected rewards kepada konsumen dan memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar yang diharapkan oleh konsumen.

Bagi traveler, istilah yang lebih umum untuk seseorang yang bepergian, dengan situasi saat ini yang diberbagai wilayah diberlakukan lockdown atau travel bans yang diterapkan oleh pemerintah internasional, aktivitas bepergian apalagi berwisata menjadi sangat terbatas.

Ini menjadi peluang bagi VT karena sifat transportasi virtualnya dapat menjadi solusi bagi orang-orang dengan hasrat bepergian dan berwisata yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri dalam situasi pandemi Covid-19 ini akan timbul suatu titik kejenuhan apabila seseorang tidak melakukan aktivitas hiburan atau wisata dalam kurun waktu tertentu.

Gaya hidup “work from home”, faktanya lebih banyak tidak disukai oleh kalangan profesional dan membuat tingkat stress semakin tinggi. Meskipun diakui bahwa VT tidak dapat menggantikan sensasi nyata, misalnya berjemur di pantai atau berenang di lautan, setidaknya VT dapat memberikan sedikit sensasi dan membawa wisatawan untuk berada dan merasa dekat dengan tempat wisata yang diinginkan.

Terlebih situasi pandemi covid-19 telah disimpulkan tidak bisa hilang begitu saja dalam waktu yang singkat, paling tidak membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk kembali ke dunia normal setelah vaksin covid-19 ditemukan.

Ke depannya, bisa jadi dunia tour dan travel akan mulai diramaikan dengan layanan baru berupa virtual tourism (VT), orang-orang bisa berwisata secara virtual dari rumah ataupun di kantor tour and travel dengan bantuan media virtual reality (VR).

Akan banyak orang-orang yang akan berwisata virtual, dengan imajinasinya masing-masing. Segmentasi pasar baru dalam dunia pariwisata akan muncul, yaitu wisatawan VT, adapun wisatawan konvensional tentu akan tetap tersedia. Kedepannya survey tempat wisata akan menjadi lebih mudah dengan metode “real time and real place visit”, tanpa perlu terkecoh efek kamera atau gambar editan yang sering terjadi.

Apabila dulu sering terjadi keluhan konsumen yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap tempat wisata yang dikunjungi, dengan dalih suasana sebenarnya beda jauh dengan apa yang terpapar di gambar/video promosi, melalui VT maka ketidakpuasan tersebut dapat diminimalisir dan setiap destinasi wisata akan berlomba-lomba untuk menawarkan pengalaman terbaik kepada para turis melalui konsep VT.

Pada akhirnya, risiko berwisata dapat diminimalisir, tidak ada lagi istilah “overpromise” dari penyedia jasa pariwisata, dan setiap penyedia akan bersaing apa adanya karena konsumen modern akan juga semakin cerdas dan bijak dalam menentukan pilihannya. Selamat datang dunia pariwisata yang penuh dengan imajinasi.